Cerpen M. Arman AZ : Sepasang Sepatu di Depan Pintu

Jangan anggap aku anak rajin kalau sering berangkat ke sekolah pagi-pagi. Apalagi menganggapku pintar, itu salah besar. Sesungguhnya aku bodoh, berotak bebal. Tiap tahun, lima ranking paling buncit di kelas, salah satunya pasti milikku. Jadi, kalau pun naik kelas, kupikir karena nasib baik saja.


Setelah lancar mengeja, menulis, menjumlah, dan cukup tahu sedikit tentang sejarah, tak ada lagi manfaat yang kupetik dari sekolah. Di mataku, gedung itu malah menyerupai lintah. Makin hari makin bengkak, saking rakusnya menghisap darah. Aku dipaksa membeli buku ini itu atau membayar biaya ini itu. Kalau tak dituruti, siap-siaplah kena marah atau dipersulit di kemudian hari.

Teman-temanku selalu mencemooh jika kuceritakan bahwa di luar sana banyak tempat bagus untuk menambah ilmu dan pengalaman. Mereka malah menganggapku sok pintar. Aku bahkan pernah disindir. Kata mereka, "Hei, Lela, kalo sudah bosen sekolah, kenapa masih datang kemari?" atau "Memangnya mau ngapain kalo nggak sekolah?!"

Aku murid perempuan yang bodoh. Tapi, itu penilaian guru dan teman-temanku. Mereka tak tahu bahwa aku adalah pengamat sepatu yang baik. Bukankah itu satu kelebihan tersendiri?

Entah sejak kapan aku punya kebiasaan aneh itu. Otakku cepat merekam berbagai jenis dan bentuk sepatu yang melintas di dekatku. Kadangkala, sifat seseorang bisa kutebak lewat sepatu yang dikenakannya. Rena, misalnya. Orang tuanya pasti borju. Hampir tiap hari alas kakinya ganti-ganti. Kalau kemarin cokelat, hari ini merah, besok tunggu saja warna apa lagi yang dipakainya. Ditambah lagaknya yang angkuh, tentu tebakanku jitu. Si Bengal Dodi lain lagi. Dia duduk di depanku. Sepatu sebelah kirinya sudah robek. Kaos kakinya coklat kumal. Jika angin berhembus, tercium aroma tengik dari bawah meja. Sementara, aku dan murid lainnya cuma punya sepasang sepatu yang harus kami rawat baik-baik untuk dikenakan setiap hari.

***

Kami, aku dan bapak, menghuni bedeng berdinding kayu. Letaknya masuk ke dalam gang dengan liku menyerupai labirin. Berjejalan dengan bedeng-bedeng lainnya. Bau busuk got mampat, aroma ikan asin digoreng, lalat hijau menari di atas gumpalan dahak, musik dangdut, kata-kata kasar, tangis bayi, jalan becek, genteng bocor di musim hujan, perkakas dapur beterbangan, adalah pemandangan biasa bagi kami. Kalau sudah garis tangan untuk melarat sampai berkarat, mau diapakan lagi?

Aku besar di lingkungan yang keras. Kawasan tempat tinggal kami tersohor sebagai kompleks pelacuran di kota ini. Ibarat akar pohon yang menancap kuat dalam tanah, julukan itu tak bisa dirobohkan lagi. Sama seperti rasa benciku pada ibu. Janjinya cuma dua tahun kerja di Malaysia. Begitu kontrak kerja sebagai TKW selesai, dia mau pulang. Membuka usaha kecil-kecilan dengan uang simpanan. Nyatanya ibu berdusta. Sampai sekarang dia tak pernah pulang. Malah dalam surat terakhirnya, ibu mengabarkan bahwa sudah kawin lagi di seberang sana. Kurang ajarnya, dia menyuruh bapak menyusul jejaknya, mencari istri baru demi kebaikanku, anak semata wayangnya. Ah, tahi kucing dengan ibu.

Meski ditinggalkan ibu, bapak tetap setia dengan kios kecilnya. Hasil dagangan dipakai untuk menyumpal perut kami, juga membayar biaya sekolahku. Aku sudah kelas enam SD. Kata tetangga, aku malah kelihatan seperti anak SMP. Penasaran dengan celetukan mereka, sekali waktu aku bercermin. Tubuhku memang bongsor. Sepasang bukit telah muncul di dadaku. Pinggangku juga ramping. Pantas bapak sering menasehati agar hati-hati bergaul di sekitar tempat ini.

Di depan gang, ada seruas jalan yang selalu ramai bila malam membentangkan layar. Di sana hingar-bingar, warna-warni, penuh tawa. Hampir di setiap rumah tergantung plang bertuliskan "Wisma", "Losmen", atau "Karaoke". Banyak wanita-wanita duduk-duduk santai sambil ngobrol. Tua muda. Cantik jelek. Kadang-kadang mereka tertawa ngakak kalau ada yang lucu menurut mereka. Dandanan mereka menor-menor. Aku pernah mencoba berdandan, meniru gaya mereka. Tapi, aku tak berani merokok seperti mereka. Bapak bisa menamparku kalau ketahuan merokok.

Sebelum membawa tamu lelaki masuk ke wisma, losmen, atau karaoke, mbak-mbak itu memesan minuman ringan atau rokok. Bapak tak bisa meninggalkan kios begitu saja. Jadi, tugaskulah untuk mengantar pesanan para tamu.

***

Aku duduk sendirian di pojok kelas. Teman-temanku menganggap siapa yang menghuni bangku belakang, kalau bukan anak badung pasti anak bodoh. Karena itulah, aku nyaris tak punya teman. Mereka kadang menghindar atau menatap curiga kalau aku mendekat.

Di sekolah tak diajarkan bagaimana membaca situasi dan memenangkannya. Teman-temanku tak tahu apa yang kulakukan di pojok kelas. Mereka hanya duduk rapi dan tegang menyimak pelajaran yang diberikan guru. Takut kena marah kalau ketahuan celingak-celinguk. Apalagi kalau tiba-tiba dipanggil ke depan kelas, dan ternyata tak bisa mengerjakan soal-soal di papan tulis. Wajah mereka mirip kerbau dungu saat berdiri dengan sebelah kaki terangkat.

Sepatu guru pun tak luput dari pengamatanku. Biasanya, ketika mereka berkeliling mengawasi ulangan, aku suka mencuri pandang ke arah sepatu mereka. Kuselidiki warna, bentuk, jenis, hingga perangai pemakainya. Nah, inilah yang membuatku heran. Dari dulu sampai sekarang, sepatu guru-guruku tak berubah. Ada yang kulitnya terkelupas. Ada yang dijahit berkali-kali. Bahkan ada yang sepatunya sudah tak muat lagi, tapi tetap saja dikenakan hingga jemari kakinya membayang jelas.

Apakah guru-guruku tak punya sepatu cadangan? Atau gaji mereka tak cukup untuk membeli sepatu baru?

***

Ini malam minggu. Malam yang panjang. Sore tadi, bapak mengingatkan agar lepas magrib aku sudah membantunya di kios. Tempat ini lebih semarak ketimbang hari-hari biasa. Ramai orang berarti ramai pembeli. Rokok, minuman ringan, bir, dan kacang kulit, pasti laku keras. Isi kios berkurang. Isi dompet bapak bertambah. Hidup terasa lebih ringan. Aku dan bapak bisa tersenyum sekejap.

Aku tak pernah mengeluh meski terkadang kerja sampai larut malam. Selain bisa membantu bapak, kadangkala aku juga dapat seseran dari orang-orang baik hati. Tapi mulai sekarang aku harus lebih waspada. Jangan sampai kecolongan seperti malam Minggu kemarin. Ada seorang lelaki mengelus pundak dan meremas bokongku. Dasar bajingan. Dipikirnya aku sama seperti mbak-mbak menor itu.

"Lela, cepat kemari!" Kulihat wajah bapak terang diguyur cahaya petromaks. Tangannya melambai ke arahku. Bergegas kuhampiri bapak. Aku membawa cerita bagus untuknya. Barusan tadi aku mengantar dua botol bir hitam, kacang, dan lima bungkus rokok ke salah satu rumah. Pembelinya orang bule, awak kapal yang siang tadi merapat di pelabuhan. Dia memberiku uang lima puluh ribu rupiah. Mbak Sari yang menggelendot di pinggang bule tinggi besar itu, mengedipkan matanya ke arahku. Dia bilang ambil saja kembaliannya untukku. Tentu saja aku girang. Buru-buru kutinggalkan mereka. Tak kupedulikan wajah si bule yang kebingungan, tak paham obrolan kami.

Bapak tertawa ngakak waktu kuceritakan kejadian barusan. "Hahaha, bagus Lela. Biar tahu rasa dia. Sekali-kali orang macam itu memang harus dikerjain. Masak, dari dulu sampai sekarang, kita dijajah terus-terusan sama mereka. Hahaha "

Bapak menyodorkan plastik hitam padaku. Isinya dua botol air mineral dan sebungkus rokok. Aku harus mengantarnya ke rumah Tante Mila. "Pembelinya sudah mesan dari tadi," kata bapak. Tanpa buang waktu, langsung kukerjakan perintah bapak. Ini sudah keenam kali aku pulang balik mengantar pesanan. Dengan uang di kantong, lelah jadi tak terasa. Rumah yang kutuju seolah bisa dijangkau dengan sekali lompatan.

Aku terkejut melihat sepasang sepatu yang tergeletak serampangan di depan pintu. Sepatu kulit tua model kuno itu mengingatkanku pada sesuatu. Pelajaran matematika yang menjemukan dan gurunya yang menyebalkan. Ya, ya, Pak Songong, dia paling jago membentak dan menghukum murid yang tak bisa mengerjakan soal. Ia juga suka membelai-belai punggung murid wanita, dan mencuri pandang ke arah kancing atas murid wanita yang menunduk ketakutan di sebelahnya.

Aku yakin, sepatu ini milik Pak Songong, guru matematikaku. Aku hafal benar bentuk dan jenisnya. Warnanya cokelat tua, mirip sepatu koboi yang yang kulihat di film-film. Jika sedang menapak lantai, bunyinya klotak-klotak menyeramkan.

Apa yang dilakukan Pak Songong di sini? Bukankah tempat ini tak layak untuk didatangi guru, orang yang katanya harus digugu dan ditiru? Aha, malam ini, di bawah keremangan lampu, aku dapat ilmu tambahan. Moral seseorang tak bisa diukur dari jabatan atau gelar yang disandangnya.

Jika Senin lusa kuceritakan apa yang kulihat malam ini pada seisi kelas, apakah mereka percaya? Atau, lebih baik aku diam saja? Goblok! Buat apa berfikir sejauh itu?! Kalau pintu ini kuketuk, lalu wajah Pak Songong menyembul di muka pintu, dia pasti kaget bukan main, mengetahui pesanannya diantar muridnya. Apa yang akan dikatakannya? Apa yang harus kulakukan? Ah, kami pasti sama-sama malu. ***

Bandar Lampung, Des 03

No comments:

Post a Comment