Cerpen Asa Jatmiko : Indri

Indri masih diam memaku di depanku. Saya pun sesaat diam untuk memberi kesempatan ia berkata-kata. Atau minimal membiarkannya menghela napas dalam dengan rasa bebas. Tapi Indri tidak melakukan apa-apa. Tatapannya kosong, keningnya yang lapang semakin memperjelas kehampaan. Rambutnya yang sedikit ikal tersisir rapi dalam dua belahan ke belakang. Lalu Indri menunduk membenarkan baju ungu yang dikenakannya, kembali menatapku. Dan masih tanpa suara.

Cerpen Sunlie Thomas Alexander : Nyanyian Malaikat

MALAIKAT akan senantiasa bernyanyi. Mengiringi orang-orang memetik sahang(1, kata nenek sembari menghisap kreteknya dalam-dalam. Amir mencoba membayangkan rupa malaikat itu.

Cantik, berhidung mancung, berbibir tipis yang selalu merekah basah, dan bermata cemerlang sebiru laut. Mengenakan gaun panjang putih bersih berenda-renda yang menjuntai sampai ke tanah. Dengan sepasang sayap putih yang berpendaran kemilau, mengepak-ngepak lembut. Seperti gambar di buku cerita yang pernah dilihatnya di perpustakaan sekolah. Dalam bayangannya, malaikat itu hinggap di pucuk-pucuk junjung(2 sahang, melayang-layang di atas ladang, sambil bersenandung lirih dan bermain harpa.

Cerpen Achmad Munjid : Negeri di Balik Bulan

Bunga, sayang...

Kutulis surat ini di sebuah kafe, sesaat setelah senja melenyap di kaki langit Kota Laut yang tenteram. Tahukah kamu, sejak kita memutuskan untuk tidak pernah lagi saling bertemu, aku segera berkemas mengikuti pelayaran panjang yang tak akan kembali ini. Sebuah pengembaraan yang akan kutempuh sepanjang waktu, menuju Negeri di Balik Bulan. Kota Laut yang tua dan megah ini adalah tempat persinggahan entah yang keberapa sejak keberangkatan kami dari Kepulauan Halmahera bertahun silam.

Cerpen Sandiantoro : Kopi Seledri

Kenangan. Terbuat dari apakah kenangan itu? Apakah kenangan itu seperti secangkir kopi yang selalu dirindukan kedatangannya? Atau seperti lengkingan terompet Miles Davis yang getir dan menyayat di malam-malam yang basah?